Dalam Bab ini, akan dibahas faktor-faktor Mental Positif. Berikut ini adalah faktor-faktor mental yang membuat kesadaran bersifat positif :
1.Saddha= Keyakinan
2.Sati= Perhatian Murni
3.Hiri= Malu berbuat buruk
4.Ottappa= Takut akan akibat berbuat buruk
5.Alobha= Tidak serakah, kedermawanan
6.Adosa= Tidak membenci, niat baik
7.Amoha= Tidak bodoh, kebijaksanaan
8.Metta= Cinta kasih, persahabatan
9.Karuna= Belas kasihan, welas asih
10.Mudita= Kegembiraan simpatik
11.Upekkha= Keseimbangan batin
12.Sammavaca= Perkataan benar
13.Sammakammanta= perbuatan benar
14.Samma-ajiva= Penghidupan benar
Keempat belas faktor mental tersebut meningkatkan pikiran menjadi murni dan baik.
1. SADDHA ( Keyakinan )
Jika anda mempercayai sesuatu yang masuk akal, Anda mengembangkan saddha (keyakinan). Saddha memiliki dua karakteristik, yaitu : Keyakinan dan Kejernihan pikiran.
Keyakinan:
Keyakinan salah akan menolak kebenaran hukum kamma dan akibatnya, menolak adanya kehidupan lampau dan mendatang, menolak kewaskitaan Buddha, ajaranNya (Dhamma), dan siswaNya (Sangha). Penolakan total sedemikian itu berbeda dengan vicikiccha, yang merupakan keraguan dengan masih menerima sebagian.
Disini saddha berarti keyakinan akan hukum kamma serta akibatnya. Saddha juga disebut saddha dhimokkha, yaitu keputusan berdasarkan pada keyakinan kuat. Demikian, hanya keyakinan terhadap sifat sejatilah yang dinamakan saddha sejati, salah satu faktor mental positif.
Kejernihan pikiran
Karekteristik yang kedua adalah kejernihan pikiran. Sewaktu memberikan derma atau menjalankan aturan moralitas, ataupun bermeditasi, pikiran seseorang jadi terisi dengan keyakinan dan menjadi jernih. Seperti batu rubi milik raja dunia, ketika ditaruh di dalam air berlumpur, kotoran dan lumpur akan mengendap dan membuat air menjadi sebening kristal. Demikian pula saddha membasmi segala keraguan, kesangsian, dan kotoran batin lain sehingga pikiran menjadi murni. Seperti itulah karakteristik saddha.
Walaupun anak-anak dan beberapa hewan kesayangan tidak memahami sepenuhnya karakteristik pertama saddha, mereka bisa melakukan perbuatan baik mengungguli orang dewasa atau guru mereka. Mereka akan menghormat kepada Tiga Permata dalam ajaran Buddha (Tiratana), memberikan derma, dan melakukan jasa terhadap orang lain. Sementara melakukan perbuatan baik, mereka menikmati buah dari karakteristik kedua, yaitu kejernihan pikiran. Bahkan orang yang tidak percaya kadang-kadang melakukan tindakan murah hati seperti derma di rumah sakit, rumah yatim piatu, panti jompo, dan lain-lain; mereka menikmati kejernihan pikiran mereka.
Keyakinan Keliru:
Keyakinan sejati terdiri dari kejernihan pikiran dan keyakinan akan kebenaran Dhamma, namun ada juga kepercayaan keliru dalam dunia ini. Misalnya saja, seseorang yang kurang jujur menyatakan bahwa sebuah arca Buddha atau pagoda dapat memancarkan cahaya, hanya untuk menarik perhatian orang agar memberikan derma. Orang yang percaya kepada relik keramat palsu, orang yang percaya kepada doktrin mereka sendiri yang menyimpang, dan lain-lain, tidak memiliki keyakinan sejati. Mereka hanya salah jalan karena kebodohan batin, ketololan, kenaifan, atau menggampangkan, ini digolongkan sebagai Moha yang merupakan suatu faktor mental negatif (akusala cetasika).
Orang yang memiliki keyakinan terhadap seseorang yang pandai berbicara (orator) atau bhikkhu dan petapa yang berpenampilan anggun, bersuara merdu, mampu menampilkan sihir, memberikan jimat dan obat-obatan, belum tentu penganut keyakinan sejati. Ini bisa jadi adalah moha yang didasarkan pada nafsu dan keintiman. Keyakinan salam macam itu dikelompokkan sebagai muddhappassana, kesetiaan membuta.
(Yo balavatiya saddaya samannagato avisadanano, so muddhappassano hoti na avecca pasanno; tatha hi avatthusamim pasidati, seyyathapi titthiya) (Ekanipata Anguttara Tika ).
Catatan Peringatan
Dewasa ini, dunia dipenuhi dengan pembohong dan penipu. Dalam agama tertentu, ajaran baru dianggap luar biasa dan di gempar-gemborkan secara berlebihan. Dalam ajaran Buddha, beberapa peniru menemukan ajaran baru, tehnik baru meditasi, dan pengobatan mistik untuk mengakali orang awam yang lugu dan mentah. Ketika orang memberikan derma dan uang kepada para penipu semacam itu, perbuatan mereka tumbuh dari nafsu dan ketidaktahuan, bukan keyakinan sejati. Karena orang sering tidak tertarik untuk menentang para penipu tersebut, mereka cenderung menjadi makin terkenal saja.
Sekarang ini kaum wanita lebih sering berperan besar dalam melakukan hal-hal kedermawanan dan acara keagamaan. Mereka kadang kurang mempertimbangkan apakah sesuatu itu sesuai atau tidak. Kita tidak boleh percaya secara membuta. Keyakinan dan devosi harus didahului dengan penalaran yang cermat. Jadi setiap orang harus berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dalam keagamaan.
Kebingungan Antara Keyakinan dan Cinta:
Dewasa ini bahkan orang berbudi tinggi pun bisa bingung antara keyakinan dengan cinta atau kasih sayang. Banyak umat awam akan menghormati guru Dhamma yang bersuara merdu, berkepribadian menarik, dan mampu memberikan pengarahan yang baik. Jika mereka menghormati mereka karena tingkah laku mereka yang santun, ini adalah saddha, namun jika mereka terlelu melekat pada salah seorang guru seperti anggota keluarga mereka sendiri, ini adalah campuran antara keyakinan dan cinta.
Pada masa Buddha Gotama, siswa-siswa seperti bhikkhu Vakkali dan menteri Channa bukan hanya menghormati Buddha, namun juga mencintai dan mengasihi Buddha secara pribadi. Jadi meskipun keyakinan ada dalam diri mereka, ada juga kemelekatan (samyojana) yang tergolong negatif.
Beberapa orang menerima ajaran dan petunjuk karena melekat secara pribadi; kemelekatan tersebut kadang-kadang bisa mengembangkan pengetahuan dan kebijaksanaan dan meningkatkan pemenuhan parami. Jika faktor-faktor mental positif bisa berkembang karena kemelekatan pribadi, hal ini jadi bermanfaat juga.
Dalam Patthana disebutkan : “ Akusala dhamma kusalassa dhammassa upanissayapaccayena paccayo”. Keadaan mental negatif mendukung keadaan mental positif dengan cara alami sebagai kondisi pendukung (suatu kondisi Patthanatertentu).
Jadi, bahkan kemelekatan ringan bisa mengarahkan kepada keadaan mental yang baik. Dalam pandangan ini, para guru dan pembabar Dhamma harus mengajar dengan tulus dan dengan niat baik untuk memajukan perkembangan tersebut. Para pengikut dan orang awam sebaliknya harus mempraktikkan dengan sungguh-sungguh apa yang diajarkan, demi menuai hasil yang bermanfaat.
[Ashin Janakabhivams]